Tulisan
ini akan membahas tentang masalah kemiskinan yang ditinjau dari
perspektif struktural. Analisa ini berdasarkan pendapat beberapa tokoh
ekonomi dan dengan memadukan analisa dari penulis sendiri dalam
memandang kemiskinan. Kemiskinan memang tidak harus dipandang dari segi
ketidakmampuan orang-orang miskin saja namun ada sesuatu dari eksternal si
miskin yang membuat si miskin semakin miskin. Kelebihan dalam
menggunakan analisa dengan perspektif struktural ini tidak lagi
membicarakan kemiskinan dalam hal perbandingan ekonomi namun dapat
menunjukkan hal-hal lain di luar si miskin yang membuat mereka tetap
miskin atau semakin miskin. Dalam perspektif struktural ini tidak bisa
lagi dalam menganalisa kemiskinan menggunakan patokan dasar adalah
pendapatan per kapita. Karena bisa saja seseorang itu pendapatan per
kapitanya melampaui garis batas kemiskinan tetapi secara struktural ia
adalah orang yang jauh dari alat-alat produksi, jauh dari proses
pengambilan keputusan, terasing dari kemungkinan partisipasi (Lubis,
1986: 41). Jadi ada faktor-faktor lain yang ingin diekspos oleh
perspektif struktural ini.
Dari
penjelasan di atas dapat diketahui paparan penulis tentang kelebihan
dari perspektif struktural, dalam penjelasan selanjutnya akan dibahas
mengenai kekurangan dari perspektif struktural ini. Penulis memandang
kekurangan dari perspektif ini yaitu dalam menemukan solusi untuk
memecahkan kebuntuan dalam masalah kemiskinan sangat sulit dilakukan
dalam kenyataan. Memang di atas kertas sangatlah memuaskan dan masuk
akal jika ditelaah, namun dalam pengimplementasian solusi dibutuhkan
tenaga dan pemikiran yang ekstra. Karena dalam penerapannya,
strukturalis ini cenderung merubah kondisi yang berada diluar si miskin
bukan dari si miskin sendiri yang berusaha untuk merubah dirinya sendiri
supaya tuntas dari kemiskinan. Merombak suatu sistem adalah merubah
segalanya yang ada pada suatu wilayah atau negara tersebut, terutama
dalam aspek penyediaan kesempatan yang sama diberbagai sektor.
Kemiskinan Struktural Karena Tertutupnya Kesempatan
Membahas
masalah kemiskinan tidak lengkap rasanya jika tidak mendefinisikan dan
menganalisa sebenarnya apa yang menjadi standar seseorang dikatakan
miskin itu? Untuk membahas pertanyaan dasar tersebut ada baiknya, jika
kita meminjam berbagai pendapat beberapa tokoh dalam menganalisa masalah
kemiskinan secara struktural ini. Kata-kata kemiskinan memang sudah
tidak asing lagi didengar, namun jawaban tentang apa itu makna
kemiskinan masih bermacam-macam dan simpang siur.
Meminjam
istilah Ghose dan Keffin dalam Andre Bayo (1996), mengatakan bahwa
kemiskinan di negara-negara Asia Selatan dan Asia Tenggara berarti
kelaparan, kekurangan gizi, ditambah pakaian dan perumahan yang tidak
memadai, tingkat pendidikan yang rendah, tidak ada sedikit sekali
kesempatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang elementer, dan
lain-lain. Memang sepakat dengan analisa Ghose dan Keffin bahwa dalam
mengidentifikasikan kemiskinan itu tidak hanya ditekankan pada aspek
ekonomi saja, terbukti dalam memberikan standar orang dikatakan miskin
mereka menggunakan aspek-apek lain seperti kesehatan, pemenuhan gizi,
dan pendidikan. Aspek-aspek non-material tersebut bukan dari si miskin
yang kurang respek untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) namun karena kurangnya kesempatan seperti yang dikatakan oleh Ghose dan Keffin.
Lebih
lanjut untuk lebih memperjelas dan memberikan kemantapan dalam
menganalisa kemiskinan struktural Friedmann dalam Andre Bayo (1996),
kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakadilan kesempatan untuk
mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi
(tidak terbatas pada): modal yang produktif atau asset misalnya tanah,
perumahan, peralatan, kesehatan; sumber-sumber keuangan; organisasi
sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan
bersama; network atau jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, dan lain-lain. Kesempatan-kesempatan tersebut seolah tertutupi dengan adanya gap
antara si miskin dan si kaya, dari orang kaya dapat dengan mudah
mendapatkan semuanya itu. Kemiskinan structural ini dimana sumber daya
ekonomi, politik, teknologi dan informasi hanya dikuasai oleh sebagian
kecil orang saja. Namun bagaiman dengan si miskin mereka semakin
terpinggirkan akibat pola sistem ekonomi yang berlaku dalam negara
Indonesia.
Kapitalisme dengan Program-Program yang Menjerat
Persatuan
Bangsa-Bangsa membuat suatu program yang pada awalnya sangat menarik
untuk diterapkan oleh sistem ekonomi negara Dunia Ketiga, termasuk
Indonesia. Program tersebut adalah Tujuan-tujuan pembangunan millennium (Millenium Development Goals)
sejak tahun 2000. Kesepakatan bersama ini merupakan perwujudan tekad
bersama bangsa-bangsa di dunia untuk memahami kemiskinan dan menemukan
solusi yang terbaik untuk diterapkan, Indonesia merupakan salah satu
negara yang meratifikasinya. Namun dalam perjalanan MDGs problem kemiskinan di Indonesia jauh dari kata terentaskan (Azra, 2007). Dalam beberapa aspek justru dengan adanya proyek MDGs
yang akan selesai pada tahun 2015 ini malahan timbul masalah-masalah
baru. Termasuk didalamnya banyak program-program yang telah dilaksanakan
namun banyak yang tidak tepat sasaran dan justru dengan adanya program
ini si miskin malah semakin miskin dan yang kaya semakin kaya.
Dalam
pengamatan penulis program-program dari PBB atau lembaga lain yang
berada diluar Indonesia (dalam artian dari Barat) tentu mempunyai maksud
dan tujuan terhadap negara-negara yang mendapatkan bantuan. Seperti
kata pepetah yang sering digunakan dalam ilmu politik, tidak ada makan siang yang gratis. MDGs
adalah buatan PBB, sedangkan lembaga tersebut sangat kental nuansanya
dengan Amerika. Walaupun mengaku sebagai lembaga yang netral namun
pengusaannya saja sudah terlihat berada di Amerika Serikat yang menganut
sistem Kapitalisme yang sangat kuat.
Apalagi
dalam hal pendanaan sistem Kapitalisme disuport oleh lembaga keuangan
internasional seperti World Bank dan IMF mempunyai implikasi pada negara
Dunia Ketiga dan negara berkembang yang telah diberikan
bantuan berupa pinjaman, termasuk Indonesia. Sesuai dengan pendapat John
Galtung (1971) kalau kita membaca langkah perusahaan transnasional dan
lembaga keuangan internasional di negara-negara dunia ketiga, maka
penjajahan bentuk baru ini begitu advanced and sophisticated.
Hampir tidak ada peluru yang ditembakkan. Bentuk pinjaman yang
diberikan ini akan brpengaruh juga terhadap si miskin, sudah hidupnya
miskin, tidak tahu apa-apa tentang kebijakan-kebijakkan ekonomi negara,
dan mereka harus ikut aktif menanggung beban hutang negara juga. Lebih lanjut menurut Maarif dalam buku Islam, Good Governance, dan Pengentasan Kemiskinan
mengatakan bahwa dibandingkan dengan Malaysia, Indonesia penduduknya
sekitar 200 juta dan Malaysia mungkin hanya 75 juta. Dari pengalamannya
membaca, alasan kenapa Malaysia dan Timur Tengah lepas dari krisis
karena mereka tidak mau menyembah kepada IMF.
Sistem
Kapitalisme melalui program-program pembangunannya sangat tidak cocok
untuk menanggulangi masalah pengentasan kemiskinan, justru segala
program yang diterapkan akan membuat ketimpangan semakin besar antara si
kaya dan si miskin. Pola yang dihasilkan oleh sistem Kapitalisme ini
justru akan membuat negara dengan rakyatnya semakin mengalami
ketergantungan dengan hutang, hutang, dan hutang. Di dalam mekanisme
hutang ada juga bunga yang tidak sedikit juga jumlahnya dan akan
terakumulasi setiap tahunnya.
Dalam
menjelaskan kemiskinan struktural, penulis meminjam teori dependensia
dari analisa Paul Baran, ia membagi Kapitalisme menjadi dua yaitu pusat
dan pinggiran. Kapitalisme yang berkembang seperti di Indonesia bukan
seperti yang berkembang di dunia Barat, tetapi Kapitalisme model
pinggiran. Jenis kapitalisme ini salah satu varian dari sistem ekonomi
yang kapitalistis, di mana modal, keahlian, pengetahuan, dan buruh
sangat memegang penting peranan dalam mengeksplorasi sumber-sumber daya
alam untuk menghasilkan barang-barang yang diperlukan oleh pasaran
dengan tujuan pokok untuk mengeruk keuntungan dan mendapatkan modal
(Bulkin, 1984).
Istilah
pinggiran disini menurut Bulkin menunjukkan suatu keadaan dimana
keuntungan dan modal ditarik dari sistem ini tidak dikumpulkan dan
dipusatkan di dalam sistem ini, melainkan di luar. Secara structural
sistem Kapitalisme Pinggiran ini selalu akan menciptakan ekonomi yang
berat sebelah dan terpusat keluar, dimana kegiatan utamanya adalah pada
bidang ekstraktif dan ekspor. Sehingga tidak akan mendorong terciptanya
industrialisasi, tertutup juga kemungkinan si miskin untuk memperoleh
pekerjaan. Sesuai dengan teori dependensia Paul Baran bahwa yang terjadi
di negara-negara kapitalis pinggiran adalah muncul kekuatan ekonomi
asing, sehingga surplus diambil oleh kekuatan tersebut.
Konteks
di Indonesia dalam pengamatan penulis sangat cocok dengan kriteria
diatas, negara kita cepat berbangga diri dengan kegiatan ekspor
kebanyakan bahan mentah untuk diolah di luar negeri, dan sebenarnya
kegiatan ini sangat merugikan si miskin terutama dalam memperoleh
kesempatan untuk bekerja. Indonesia saat ini masih dikuasai oleh sistem
ini, dan sampai sekarang sistem ini masih terpelihara sangat baik salah
satu hal warisan kolonialisme Barat.
Hal
yang tidak kalah menarik dari usaha pemiskinan oleh sistem Kapitalisme
ini ada pada aspek mekanisme pasar yang dijalankan oleh Kapitalisme.
Dalam mekanisme ini terdapat istilah “supply” dan “demands” dengan kedua
pijakan dasar tersebut, pasar dipercaya sebagai sebuah tempat untuk
mengalokasikan barang-barang dan menjamu konsumen dengan service yang
baik. Hal yang menjadi pemaksaan dari pasar sebagai sebuah mekanisme
yang dipakai membuat relasi sosial dan kebutuhan dasar
publik dijadikan sebagai komoditas untuk diperjualbelikan. Termasuk
didalmnya pendidikan dan kesehatan tidak dipahami sebagai hak dasar
masyarakat, tetapi dijadikan komoditas. Pasar percaya bahwa dalam
menyediakan barang-barang publik sebagai sebuah kebijakan sosial, baik
oleh pemerintah maupun pasar sendiri, dinilai tidak menimbulkan
efisiensi (Sulhin, 2009:31).
Ironisnya yang terjadi di Indonesia saat ini adalah sama seperti
yang dipaparkan di atas. Semua barang-barang publik adalah komoditas,
bagi si kaya hal ini tidak akan menjadi suatu masalah yang serius,
mereka punya uang, dapat membeli pelayanan dasar tersebut dan
mendapatkan pelayanan yang baik. Namun bagi si miskin, kondisi monopoli
semacam ini justru akan semakin mencekik kehidupan mereka. Bayangkan
saja sudah miskin, hidup di negara yang ekonominya serba campuran ini,
dan mereka harus membeli dulu hak-hak dasar mereka yang seharusnya
diberikan cuma-cuma oleh negara. Apalagi dua sektor utama pendidikan dan
kesehatan yang menjadi komoditas. Mau pandai darimana, mau sehat dan
gizi tercukupi seperti yang digembar-gemborkan pemerintah, kalau hak-hak
dasar mereka saja dijual belikan. Oscar Lewis dalam Suparlan (1995)
menambahkan kondisi seperti ini akan menimbulkan kebudayaan kemiskinan,
dan justru membuat kemiskinan itu semakin bertambah juga seiring dengan
pertambahan jumlah penduduk.
Strategi Dalam Memerangi Kemiskinan Struktural
Pembangunan
tidak akan berhasil untuk mengatasi kemiskinan tanpa disertai
peningkatan kesempatan kerja, pemenuhan kebutuhan pokok, peningkatan
produktivitas rakyat miskin. Banyak juga yang berpendapat bahwa pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs) akan
menyelesaikan masalah yang kita hadapi. Memang kalau Indonesia dapat
melakukan sesuai dengan apa yang dijanjikan dalam sistem itu, maka
kemiskinan dapat dikurangi secara massal. Dibutuhkan tindakan pemerintah
untuk mengubah pola-pola pemilikan tanah, mengurangi investasi padat
modal, mengarahkan kekuatan-kakuatan pasa, mempengaruhi perubahan
nilai-nilai, dan mengatur perdagangan luar negeri (Bayo, 1996:37). Tidak
mudah memang dalam merubah suatu sistem yang bergulir dalam suatu
negara, namun tidak ada salahnya untuk diuji cobakan. Karena sistem yang
berada di Indonesia ini belum sepenuhnya jelas, mumpung belum jelas
maka ada kesempatan untuk merubah sedikit demi sedikit.
Strategi
dalam pengentasan kemiskinan memang sangat dibutuhkan peran dari negara
tidak lain dalam rangka advokasi sosial untuk menciptakan tatanan yang
berkeadilan dan berkemakmuran. Peran negara yang dituntut dalam proses
pengentasan kemiskinan adalah meredistribusi kekayaan dan pendapatan,
memastikan agar dalam proses distribusi tidak satu pun dari
faktor-faktor produksi ditekan pembagiannya dan mengeksploitasi faktor
lainnya (Baidhowy, 2007:7).
Penulis
sepakat dengan pendapat tersebut karena memang dari pekerja, pemilik
modal, dan pemilik tanah harus berbagi bersama dalam hasil-hasil
produksinya. Negara sebagai kekuasaan tertinggi harus bisa memberikan
kontribusi dalam mendistribusikan hasil produksi kepada mereka yang
miskin secara sosial dan ekonomi. Penulis merekomendasikan untuk memakai
mekanisme koperasi dalam mengentaskan kemiskinan. Tentu dalam
menerapkan koperasi sebagai soko guru ekonomi harus diimbangi dengan
peran negara sebagai pihak yang seharusnya berani memaksa untuk
kebaikan, karena sistem yang sekarang berjalan justru semakin
memperlemah sector koperasi, menjadikan koperasi tidak menarik lagi.
Padahal jika ditelusuri lebih dalam dan diamalkan sesuai dengan kaidah
yang ada dalam prinsip-prinsip dan nilai-nilai koperasi sangat pas jika
permasalahan negara adalah pada mekanisme distribusi hasil produksi.
Dengan koperasi semua masyarakat sama, tidak ada paksaan
dalam memberikan modal bersama dan cita-cita koperasi di Indonesia
menurut Mohammad Hatta yakni menciptakan masyarakat yang kolektif,
berakar pada adat istiadat, tetapi ditumbuhkan pada tingkat yang lebih
tinggi, sesuai dengan tuntutan zaman modern. Disini negara lebih
ditekankan untuk memperbaiki sistem yang saat ini berlaku di Indonesia.
Jadi
untuk menutup tulisan ini penulis sekali lagi menekankan bahwa
kemiskinan itu tidak hanya ditekankan pada aspek ekonomi saja, namun
hak-hak dasar lain seperti kesempatan dalam memperoleh pendidikan dan
kesehatan juga perlu untuk diperhatikan dalam mengidentifikasi
kemiskinan. Masalah kemiskinan ada karena sistem yang salah untuk
diterapkan di Indonesia, justru dengan adanya lembaga-lembaga keuangan
internasional dengan mekanisme bantuannya semakin menambah penderitaan
rakyat miskin. Ditambah lagi dengan adanya mekanisme pasar yang secara
diam-diam merasuki ideology bangsa Indonesia ini, menjadikan semua
barang-barang publik menjadi komoditas, sehingga tidak semua masyarakat
dapat mengaksesnya dalam artian tidak ada kesempatan si miskin untuk
memperoleh pelayanan yang prima sama seperti si kaya. Penulis juga
menekankan solusi yang diterapkan butuh peran pemerintah dalam
menerapkan dan menata kembali sistem yang ada, penulis merekomendasikan
untuk menerapkan koperasi sebagai sistem ekonomi dalam rangka menguatkan
distribusi hasil produksi.
Referensi :
Ala, Andre Bayo, Drs. (editor). 1996. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan. Yogyakarta: Liberty Offset.
Budiman, Arif. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia.
Lubis, T. Mulya. 1986. Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural. Jakarta: LP3ES.
Muwahidah, Siti Sarah dan Zakiyudin Baidhowy (editor). 2007. Islam,
Good Governance, dan Pengentasan Kemiskinan: Kebijakan Pemerintah,
Kiprah Kelompok Islam, dan Potret Gerakan Inisiatif di Tingkat Lokal. Jakarta: MAARIF Institute for Culture and Humanity.
Sulhin, Iqrak. 2009. Capitalism and The Future of Indonesia’s Anti-Poverty Policy. Yogyakarta: Gadjah Mada University.
Suparlan, Parsudi. 1995. Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Swasono, Sri Edi (editor). 1985. Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi. Jakarta: UI-Press
Jurnal
Farchan Bulkin, Kapitalisme, Golongan Menengah, dan Negara: Sebuah Catatan Penelitian, Prisma, No.2, Februari, 1984.
John Galtung, A Structural Theory of Imperialism, dalam Journal of Peace Research, vol.8, 1971.
Website
http://www.solopos.com/2012/lifestyle/fokus-lifestyle/kemiskinan-struktural-di-tepian-kota-183923, diakses tanggal 16 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar